Sorong, 11 Maret 2025 – Kunjungan Wakil Bupati Sorong Selatan, Yohan Bodori, ke Kantor SKK Migas Papua dan Maluku menjadi sorotan publik. Dalam pertemuan tersebut, ia diterima oleh Koordinator Operasi SKK Migas Papua-Maluku, Wienarno, bersama tim analis operasi.
Dalam pernyataannya, Yohan Bodori menegaskan bahwa Pemerintah Daerah Sorong Selatan mendukung penuh masuknya aktivitas migas di wilayahnya, khususnya di daerah Imekko. Ia bahkan menekankan bahwa semakin cepat proyek ini berjalan, semakin baik untuk peningkatan ekonomi, pendapatan daerah, serta percepatan pembangunan di Sorong Selatan.
Namun, pernyataan ini justru memicu reaksi keras dari FORKOM Imekko Bersatu Provinsi Papua Barat Daya (PBD). Mereka menilai langkah Wakil Bupati sebagai bentuk pemaksaan investasi tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat.
Kontroversi SKK Migas di Wilayah Adat
Ketua FORKOM Imekko Bersatu menegaskan bahwa masyarakat adat menolak investasi migas masuk sebelum Imekko resmi menjadi kabupaten sendiri. Mereka juga mengkritisi sikap Wakil Bupati yang lebih fokus pada investasi ketimbang menjalankan visi dan misi pembangunan daerah.
“Kami melihat jelas siapa yang bermain. Baru sehari masuk kantor, besoknya langsung ke SKK Migas untuk mempercepat investasi. Ini bukan demi rakyat, tapi demi kepentingan tertentu,” ujar Ketua FORKOM dalam keterangannya.
Surat Kaleng atau Suara Masyarakat?
Dalam pertemuan tersebut, Wakil Bupati juga meminta SKK Migas untuk mengabaikan surat-surat yang dianggap ilegal atau tidak resmi terkait penolakan masyarakat. Namun, FORKOM Imekko Bersatu menegaskan bahwa suara mereka bukanlah “surat kaleng,” melainkan representasi aspirasi masyarakat adat.
Masyarakat adat kini semakin solid dalam mempertahankan wilayah mereka dan menolak operasi SKK Migas. Mereka menginstruksikan seluruh komunitas di Imekko untuk menjaga tanah adat sampai Imekko menjadi kabupaten baru.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari Wakil Bupati terkait penolakan keras dari FORKOM Imekko Bersatu. Namun, isu ini terus menjadi perbincangan hangat dan berpotensi menimbulkan ketegangan lebih lanjut antara pemerintah daerah dan masyarakat adat.