(Sorong, 1 Maret 2025) – Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, menghadapi persoalan serius dalam pembangunan ekonomi desa. Berdasarkan data yang diperoleh, banyak kepala kampung atau kepala desa di wilayah ini tidak membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), meskipun memiliki potensi ekonomi yang besar. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah ini bentuk kelalaian, atau ada kepentingan lain yang bermain?
BUMDes adalah instrumen utama dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat desa, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021. Namun, faktanya, banyak kepala kampung di Kabupaten Sorong tidak menjalankan amanat ini, yang berakibat pada stagnasi ekonomi desa dan berkurangnya peluang kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Menurut Ketua DPC GMNI Sorong, Yeskel Klasuat, kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Ia menilai bahwa pembiaran terhadap desa-desa yang tidak membentuk BUMDes merupakan kelalaian serius dari pemerintah daerah, khususnya Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Sorong.
“BUMDes adalah jantung ekonomi desa. Jika kepala kampung tidak membentuknya, padahal ada potensi yang cukup, maka ini bukan hanya kelalaian, tapi juga bentuk pengabaian terhadap kesejahteraan masyarakat desa,” tegas Yeskel Klasuat.
DPMD Kabupaten Sorong Harus Bertanggung Jawab!
Minimnya tindakan tegas dari DPMD Kabupaten Sorong menjadi salah satu penyebab utama lambatnya pembentukan BUMDes di berbagai kampung. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pembinaan desa, DPMD seharusnya memberikan arahan dan instruksi tegas kepada para kepala kampung dan kepala desa untuk segera membentuk BUMDes.
“DPMD harus turun tangan, jangan hanya duduk di belakang meja! Jika kepala kampung tidak menjalankan kewajibannya, harus ada evaluasi menyeluruh. Jangan sampai dana desa yang seharusnya dipakai untuk pemberdayaan ekonomi justru digunakan untuk kepentingan lain yang tidak jelas,” tambah Yeskel Klasuat.
Benarkah Ada Penyimpangan?
Selain kelalaian, ketiadaan BUMDes di banyak desa di Kabupaten Sorong juga memunculkan dugaan adanya penyimpangan dalam pengelolaan dana desa. Jika dana desa yang seharusnya dialokasikan untuk pembentukan BUMDes ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya, maka bukan hanya masalah administratif, tetapi juga bisa masuk dalam kategori tindak pidana korupsi.
“Kami akan mendesak pemerintah daerah dan aparat hukum untuk memeriksa lebih dalam. Jika ada indikasi penyelewengan dana desa, maka harus ada tindakan hukum yang jelas,” tegas Yeskel.
Masyarakat Harus Bergerak!
Saat ini, masyarakat desa tidak boleh diam. Warga harus berani mengawasi dan mempertanyakan ke mana anggaran desa dialokasikan. Jika memang ada potensi penyimpangan atau kelalaian, maka perlu dilakukan audit dan evaluasi mendalam terhadap kinerja kepala kampung maupun DPMD.
BUMDes seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, bukan sekadar wacana yang dibiarkan terbengkalai. Jika pemerintah desa tidak mampu menjalankan tugasnya, maka masyarakat berhak menuntut pertanggungjawaban mereka!
Kini, bola panas ada di tangan DPMD Kabupaten Sorong—apakah mereka akan mengambil langkah tegas, atau justru terus membiarkan kondisi ini tanpa solusi?
(BERSAMBUNG… ATAU AKAN BERAKHIR DI MEJA HIJAU?)
Redaksi