Sorong Selatan, Papua Barat Daya – Polemik penetapan 15 nama calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Sorong Selatan kembali memanas. Masyarakat adat bersama dua calon anggota DPRK yang merasa dirugikan mengecam keras keputusan Panitia Seleksi (Pansel) dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pemerintah Daerah yang dua kali mengumumkan nama-nama yang dinilai cacat hukum dan bertentangan dengan PP Nomor 106 Tahun 2021.
Dalam PP 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua, ditegaskan bahwa proses seleksi calon anggota DPRK jalur pengangkatan harus mengikuti mekanisme dan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, serta representasi wilayah adat secara adil. Namun menurut berbagai pihak, Pansel justru melabrak ketentuan tersebut.
Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Sorong Selatan, Agustina Dedaida, menyebut pengumuman 15 nama tersebut cacat prosedur. “Ada dugaan kuat intervensi dari pejabat daerah, pemalsuan dokumen, hingga seleksi administrasi yang tidak dilakukan. Nama-nama diumumkan tanpa tahapan wawancara atau makalah,” tegasnya.
Aksi Protes Masyarakat Adat dan LMA
Sebagai bentuk kekecewaan, masyarakat adat melakukan aksi pemalangan kantor Kesbangpol dan unjuk rasa damai selama dua hari berturut-turut. Aksi ini dipimpin oleh Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Doberai dan pengurus LMA, serta didukung calon anggota DPRK yang merasa dirugikan.
Massa menuntut agar 15 nama tersebut dibatalkan, anggota Pansel diganti karena masa tugasnya sudah berakhir, dan seleksi dilakukan ulang sesuai regulasi PP 106/2021 serta UU Otsus Papua (UU No. 2 Tahun 2021).
“Kalau tidak digubris, kami akan laporkan secara hukum ke aparat kepolisian. Pemalsuan dokumen dan kebohongan publik sudah terjadi secara terang-terangan,” ungkap salah satu perwakilan LMA.
Tanggapan Pemerintah Daerah Belum Tegas
Wakil Bupati Sorong Selatan, Yohan Bodori, S.Sos, yang juga Kepala Suku Imekko, sempat berjanji akan menyampaikan keputusan pada Jumat, 9 Mei 2025. Namun hingga kini, belum ada tindak lanjut. Ironisnya, pada malam sebelumnya, sebuah pertemuan di sebuah kafe malah membahas penambahan 3 calon bermasalah, termasuk yang terindikasi terlibat partai politik, pensiunan ASN, hingga yang memiliki catatan pidana.
“Ini bukti bahwa pemerintah dan Pansel tidak objektif. Mereka buta aturan, dan justru mencederai semangat Otonomi Khusus,” kata Agustina Dedaida.
Permintaan Penegakan Hukum dan Evaluasi Total Pansel
Para tokoh adat mendesak pemerintah pusat dan Kementerian Dalam Negeri untuk mengintervensi dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses seleksi DPRK jalur pengangkatan di Papua Barat Daya, khususnya Sorong Selatan.
“Jika PP 106/2021 dan UU Otsus Papua tidak dijalankan, ini berarti negara mengubur sendiri undang-undangnya. Tidak boleh ada calon anggota DPRK yang lolos tanpa tahapan sah dan legalitas formal,” tegas tokoh LMA lainnya.
CATATAN PENTING:
- Pansel dituding mengumumkan nama tanpa dasar hukum yang sah.
- Tuntutan: Pembatalan 15 nama, penggantian Pansel, proses seleksi ulang sesuai PP 106/2021.
- Aksi massa dilakukan secara damai, tetapi ultimatum diberikan: jika tidak direspons, proses hukum akan diambil.
Laporan Pewarta Anita